Nawaz waz waz

nawaz waz waz, nawaz waz waz,nawaz waz waz, nawaz waz waz nawazwazwaz

Kamis, 11 Desember 2014

6 Tempat Bersejarah di Yogyakarta

Sejarah Candi Prambanan

Candi Prambanan adalah bangunan luar biasa cantik yang dibangun di abad ke-10 pada masa pemerintahan dua raja, Rakai Pikatan dan Rakai Balitung. Menjulang setinggi 47 meter (5 meter lebih tinggi dari Candi Borobudur), berdirinya candi ini telah memenuhi keinginan pembuatnya, menunjukkan kejayaan Hindu di tanah Jawa. Candi ini terletak 17 kilometer dari pusat kota Yogyakarta, di tengah area yang kini dibangun taman indah.
Ada sebuah legenda yang selalu diceritakan masyarakat Jawa tentang candi ini. Alkisah, lelaki bernama Bandung Bondowoso mencintai Roro Jonggrang. Karena tak mencintai, Jonggrang meminta Bondowoso membuat candi dengan 1000 arca dalam semalam. Permintaan itu hampir terpenuhi sebelum Jonggrang meminta warga desa menumbuk padi dan membuat api besar agar terbentuk suasana seperti pagi hari. Bondowoso yang baru dapat membuat 999 arca kemudian mengutuk Jonggrang menjadi arca yang ke-1000 karena merasa dicurangi.

Candi Prambanan memiliki 3 candi utama di halaman utama, yaitu Candi Wisnu, Brahma, dan Siwa. Ketiga candi tersebut adalah lambang Trimurti dalam kepercayaan Hindu. Ketiga candi itu menghadap ke timur. Setiap candi utama memiliki satu candi pendamping yang menghadap ke barat, yaitu Nandini untuk Siwa, Angsa untuk Brahma, dan Garuda untuk Wisnu. Selain itu, masih terdapat 2 candi apit, 4 candi kelir, dan 4 candi sudut. Sementara, halaman kedua memiliki 224 candi.
Memasuki candi Siwa yang terletak di tengah dan bangunannya paling tinggi, anda akan menemui 4 buah ruangan. Satu ruangan utama berisi arca Siwa, sementara 3 ruangan yang lain masing-masing berisi arca Durga (istri Siwa), Agastya (guru Siwa), dan Ganesha (putra Siwa). Arca Durga itulah yang disebut-sebut sebagai arca Roro Jonggrang dalam legenda yang diceritakan di atas.

Di Candi Wisnu yang terletak di sebelah utara candi Siwa, anda hanya akan menjumpai satu ruangan yang berisi arca Wisnu. Demikian juga Candi Brahma yang terletak di sebelah selatan Candi Siwa, anda juga hanya akan menemukan satu ruangan berisi arca Brahma.

Candi pendamping yang cukup memikat adalah Candi Garuda yang terletak di dekat Candi Wisnu. Candi ini menyimpan kisah tentang sosok manusia setengah burung yang bernama Garuda. Garuda merupakan burung mistik dalam mitologi Hindu yang bertubuh emas, berwajah putih, bersayap merah, berparuh dan bersayap mirip elang. Diperkirakan, sosok itu adalah adaptasi Hindu atas sosok Bennu(berarti 'terbit' atau 'bersinar', biasa diasosiasikan dengan Dewa Re) dalam mitologi Mesir Kuno atauPhoenix dalam mitologi Yunani Kuno. Garuda bisa menyelamatkan ibunya dari kutukan Aruna (kakak Garuda yang terlahir cacat) dengan mencuri Tirta Amerta (air suci para dewa).
Kemampuan menyelamatkan itu yang dikagumi oleh banyak orang sampai sekarang dan digunakan untuk berbagai kepentingan. Indonesia menggunakannya untuk lambang negara. Konon, pencipta lambang Garuda Pancasila mencari inspirasi di candi ini. Negara lain yang juga menggunakannya untuk lambang negara adalah Thailand, dengan alasan sama tapi adaptasi bentuk dan kenampakan yang berbeda. Di Thailand, Garuda dikenal dengan istilah Krut atau Pha Krut.
Prambanan juga memiliki relief candi yang memuat kisah Ramayana. Menurut para ahli, relief itu mirip dengan cerita Ramayana yang diturunkan lewat tradisi lisan. Relief lain yang menarik adalah pohon Kalpataru yang dalam agama Hindu dianggap sebagai pohon kehidupan, kelestarian dan keserasian lingkungan. Di Prambanan, relief pohon Kalpataru digambarkan tengah mengapit singa. Keberadaan pohon ini membuat para ahli menganggap bahwa masyarakat abad ke-9 memiliki kearifan dalam mengelola lingkungannya. Sama seperti sosok Garuda, Kalpataru kini juga digunakan untuk berbagai kepentingan. Di Indonesia, Kalpataru menjadi lambang Wahana Lingkungan Hidup (Walhi). Bahkan, beberapa ilmuwan di Bali mengembangkan konsep Tri Hita Karana untuk pelestarian lingkungan dengan melihat relief Kalpataru di candi ini. Pohon kehidupan itu juga dapat ditemukan pada gunungan yang digunakan untuk membuka kesenian wayang. Sebuah bukti bahwa relief yang ada di Prambanan telah mendunia.

Kalau cermat, anda juga bisa melihat berbagai relief burung, kali ini burung yang nyata. Relief-relief burung di Candi Prambanan begitu natural sehingga para biolog bahkan dapat mengidentifikasinya sampai tingkat genus. Salah satunya relief Kakatua Jambul Kuning (Cacatua sulphurea) yang mengundang pertanyaan. Sebabnya, burung itu sebenarnya hanya terdapat di Pulau Masakambing, sebuah pulau di tengah Laut Jawa. Lalu, apakah jenis itu dulu pernah banyak terdapat di Yogyakarta? Jawabannya silakan cari tahu sendiri. Sebab, hingga kini belum ada satu orang pun yang bisa memecahkan misteri itu.
Nah, masih banyak lagi yang bisa digali di Prambanan. Anda tak boleh jemu tentunya. Kalau pun akhirnya lelah, anda bisa beristirahat di taman sekitar candi.

Naskah: Yunanto Wiji Utomo


Sejarah Candi Barong

Sebagai orang Indonesia, seharusnya kita tidak perlu bingung jika ingin berwisata karena kekayaan dan keanekaragaman obyek wisata yang kita punya. Keindahan alam yang kita punya merupakan obyek wisata yang banyak diminati dan mashur seantero jagad. Akan tetapi, wisata purbakala kita nampaknya belum menjadi primadona bahkan bagi rakyat Indonesia sendiri. Warisan bangunan nenek moyang kita zaman dahulu nampaknya belum menarik hati banyak orang Indonesia untuk mengunjunginya.
Jika menyebut kata candi, ingatan kita hanya akan terbatas pada Candi Prambanan dan Candi Borobudur. Padahal di Jawa Tengah dan Yogyakarta saja, terdapat sekurang-kurangnya 11 candi. Salah satu yang unik adalah Candi Barong. Candi yang terletak di Dusun Candisari, Kelurahan Bokoharjo, Prambanan, Sleman, Yogyakarta ini merupakan candi peninggalan agama Hindu. Yang unik dari Candi Barong adalah terdapat hiasan kala relung tubuh candi sehingga menyerupai Barong. Itulah alasan mengapa candi ini dinamakan Candi Barong. Selain itu, yang membuat Candi Barong berbeda dengan candi-candi lain di Jawa Tengah dan Yogyakarta adalah bangunannya. Bangunan Candi Barong merupakan punden berundak, bangunan suci khas masa pra-Hindu.
Dengan keunikan tersebut sudah seharusnya kita patut bersyukur, karena nenek moyang kita telah mewariskan bangunan yang sangat indah serta memuat nilai filosofis yang sangat tinggi pada bangunan candi Barong. Tugas kita adalah menjaga, melestarikan, serta memperkenalkannya kepada dunia. Jangan sampai kita menelantarkan apalagi sampai merusak warisan nenek moyang kita.

Bagi yang belum pernah mengunjungi Candi Barong, maka berkunjung dan berwisata ke candi tersebut merupakan salah satu cara untuk melestarikan warisan nenek moyang kita itu. Letaknya yang berdekatan dnegan obyek wisata kompleks Ratu Boko membuat akses ke Candi Barong relatif murah dan mudah, karena  kompleks Ratu Boko merupakan tujuan wisata yang cukup terkenal di Jogjakarta.
Bagi yang sudah pernah mengunjungi Candi Barong, mengajak teman untuk mengunjungi Candi Barong merupakan cara yang tepat untuk ikut melestarikan Candi Barong. Selain itu membagi pengalaman serta cerita, baik melalui tulisan maupun rekaman video, ketika berwisata ke Candi Barong merupakan cara yang jitu untuk ikut memperkenalkan kepada dunia. Sehingga, akan lebih banyak lagi orang yang berminat untuk mengunjungi Candi Barong



SEJARAH SINGKAT TAMAN SARI 

kawasan Tamansari dengan kampung taman-nya ini sangat terkenal dengan kerajinan batiknya. Kita dapat berbelanja maupun melihat secara langsung pembuatan batik-batik yang berupa lukisan maupun konveksi. Kampung Tamansari ini sangat dikenal sehingga banyak mendapat kunjungan baik dari wisatawan mancanegara maupun wisata nusantara.

Tamansari dibangun pada masa Sultan Hamengku Buwono I atau sekitar akhir abad XVII M.


Tamansari adalah sebuah tempat yang cukup menarik untuk dikunjungi. Selain letaknya yang tidak terlalu jauh dari Kraton Yogyakarta yang merupakan obyek wisata utama kota ini, Tamansari memiliki beberapa keistimewaan. Keistimewaan Tamansari antara lain terletak pada bangunannya sendiri yang relatif utuh dan terawat serta lingkungannya yang sangat mendukung keberadaannya sebagai obyek wisata.


Tak terhitung seberapa banyak bangunan peninggalan bersejarah di Indonesia. Salah satunya Tamansari yang termasuk bagian dari warisan budaya Keraton Kasultanan Yogyakarta. Letaknya tak jauh dari Keraton Yogyakarta, sekitar 300 m di sebelah barat Keraton, tepatnya di Kampung Taman, Kecamatan Kota Yogyakarta.


Tamansari dibangun pada pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono I di tahun 1758. Tujuan pembangunannya adalah sebagai tempat untuk menentramkan hati, beristirahat, berekreasi, serta sebagai sarana/benteng untuk menghadapi situasi bahaya. Bangunannnya dilengkapi pula dengan tempat beribadah.

Naman Tamansari memiliki dua suku kata, yaitu taman yang berarti kebun yang ditanami bunga-bunga, dan sari yang berarti indah. Apabila digabungkan menjadi sebuah nama kompleks taman dengan keindahan dan suasananya yang asri.
Pemandangannya juga mengarah ke rumah-rumah penduduk sekitar yang dulunya dijadikan kebun buah

Terletak di Kampung Taman, 500 m sebelah selatan kompleks Keraton Yogyakarta, pada 1578 pesanggrahan ini dibangun sebagai tempat bercengkerama dan menenangkan diri Sultan sekeluarga. Bukan hanya sebagai tetirahan, Tamansari juga dilengkapi lorong rahasia untuk berlindung dan menyelamatkan diri. Kompleks ini mulanya memiliki 57 bangunan, seperti kebun, gapura, danau buatan, kolam pemandian, kanal air, juga masjid dan lorong bawah tanah.


Namun beberapa bagian itu kini sudah tak utuh lagi. Umumnya karena tergerus usia dan cuaca, namun tak jarang situs-situs tersebut rusak parah oleh bencana alam. Gempa hebat di Yogyakarta, 10 Juni 1867, menghancurkan sebagin besar bangunannya, termasuk terowongan yang konon tembus ke Keraton dan Pantai Selatan. Selepas Sultan Hamengkubuwono III bertahta, Tamansari pun tidak digunakan lagi. Lambat laun, masyarakat biasa mendirikan rumah-rumah di sekitarnya
dan membentuk perkampungan, yaitu Kampung Taman yang terkenal dengan kerajinan batiknya.

Upaya untuk mengembalikan pesona bangunan dengan perpaduan gaya Portugal, Jawa, Islam, dan Cina itu pun ditempuh. Pemda DIY memugar kompleks ini pada 1977. Pemeliharaan rutin dilakukan oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP) dengan dukungan APBN. Pada 2001, pemugaran gerbang dan urung-urung-nya menelan 120 juta rupiah dana APBD. Atas prakarsa Jogja Heritage Society, pada 2003 sebuah yayasan pelestarian seni-budaya Portugal, Calooste Golbenkian, bekerjasama dengan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) dan Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM juga merehabilitasi Tamansari.
Berbagai langkah perbaikan itu, tentunya agar kondisi Tamansari tak semakin mengkhawatirkan. Seperti dicatat World Monument Fund, sebuah badan dunia yang peduli pada nasib situs-situs sejagat, Tamansari masuk dalam daftar 100 Most Endangered Sites, 100 situs paling terancam keberadaannya. Apalagi seusai lindu dahsyat 27 Mei 2006 silam, kondisi Tamansari kian memprihatinkan. Gempa bumi itu telah meretakkan tembok-temboknya. Banyak bagian Pulau Cemeti juga roboh. Puing-puingnya bahkan menewaskan sejumlah warga setempat.

Sampai kini, restorasi Tamansari masih berlangsung secara bertahap. Awal Maret 2007 lalu, upaya rehabilitasi Tamansari pasca-gempa kembali dibahas dengan melibatkan BP3 dan Unesco. Pemugaran dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan bahan, teknik, dan detail bangunan. Berbeda dengan bangunan biasa, Tamansari termasuk situs yang kaya catatan budaya dan sejarah. Tak semestinya upaya mengembalikan Tamansari sebagai—sesuai arti namanya—“taman yang indah” hanya dengan memasang material baru sehingga menghilangkan aura kelampauannya. 


Sejarah Makam Raja-Raja Mataram


Makam raja-raja di Kota Gede dikenal dengan nama Kagungandalem Pasareyan Hastana Kitha Hageng. Tempat ini dibangun oleh Ki Ageng Pamanahan tahun 1579 sebagai tempat kediamannya di alas menthaok. Sultan Hadiwijoyo memberikan tanah ini kepada Ki Ageng Pamanahan dan berkedudukan sebagai tanah perdikan, setelah ia berhasil membunuh Ario Panangsang yang menjadi musuh kerajaan Pajang. Setelah Ki Ageng Pamanahan wafat 1586, Panembahan Senopati (putra Ki Ageng) menyatakan berdirinya kerajaan Mataram Islam dengan kraton Mataram pertama di dusun Dalem. Menurut Mas Bekel Hastono Raharjo (55) ketika ditemui di komplek makam Kamis (11/10), tempat ini kemudian dijadikan makam keluarga raja oleh Panembahan Senopati. 

Pasereyan Hastana Kitha Hageng seluas 5,5 ha ini terdiri dari : Komplek abdi dalem dimana terdapat 1 pohon beringin tua. Sebagian komplek ini dijadikan areal parkir bagi pengunjung yang datang. Komplek Masjid Gede Mataram yang juga merupakan masjid tertua kedua setelah masjid Demak. Masjid ini dibangun oleh Panembahan Senopati, serambi masjid dibangun oleh Sultan Agung Hanyakrokusumo dan emperan serta kuncung dibangun oleh Susuhunan Paku Buwono X. Komplek Pasangrahan dan komplek sendang kakung maupun putri dengan luas masing-masing 1 ha dan terakhir adalah komplek makam hastana kitha hageng seluas 1,5 ha. Di sini terdapat 627 makam termasuk 81 dalam blok Proboyekso. 
Beberapa leluhur Mataram yang sangat dikenal yang dimakamkan di sini : Nyi Hageng Nis, Penembahan Jayaprana, Ki Datuk Palembang (Sultan Pajang), Ki Ageng Pamanahan, Ki Jurumertani, Panembahan Senopati, Kanjeng Sinuhun Hanyakrawati, Kanjeng Ratu Retno Dumilah, Kanjeng Ratu Kalinyamat, Kanjeng Ratu Retno Tinumpuk, Kanjeng Ratu Kencana, Sultan Hamengku Buwono I dan II, KGPAA I-IV dan Ki Ageng Mangir serta masih banyak lagi. Setiap pengunjung yang datang, bisa memperoleh daftar lengkap nama mereka yang dimakamkan di sini, sejarah singkat makam Kutho Gede dan silsilah raja-raja Mataram Islam. Sudah lama komplek makam ini tertutup untuk makam baru. 



Bangunan yang ada dalam komplek makam ini berjumlah 15 buah terdiri dari : bangsal kencur, bangsal pengapit makam, bangsal duduk, bangsal pengapit masjid, masjid gede Mataram, bangsal sentulan kiri kanan, bangsal penjaga dan gudang, bangunan sendang kakung, putri, serta bangunan makam proboyekso dan bangunan makam KGPAA II-IV. Untuk merawat seluruh bangunan termasuk kebersihan dalam komplek, menjadi tanggung jawab para abdi dalem juru kunci pasareyan kutho gede. Karena termasuk benda cagar budaya, maka biaya renovasi dan konbloknisasi menjadi tanggung jawab Pemda DIY melalui dinas Pariwisata. Namun biaya listrik menjadi tanggungan kraton Yogya maupun Solo 

Komplek makam Kutho Gede dikelola oleh 54 orang addi dalem, 34 abdi dalem Kraton Yogyakarta dan 20 orang adbi dalem Kraton Surakarta. Menurut Mas Bekel Hastono Raharjo/Budi Raharjo, komplek ini terbuka untuk pengunjung selama 24 jam setiap harinya, kecuali ke makam hanya dibuka untuk hari Minggu, Senin dan Kamis jam 10.00 – 14.00 dan hari Jumat jam 13.00 – 17.00. Mereka yang ingin berkunjung ke makam harus mematuhi syarat-syarat : harus memakai busana adat atau pranakan bagi laki-laki dan kemben bagi perempuan, tidak boleh berjilbab, tidak memakai alas kaki, tidak boleh mengembail gambar di dalam komplek makam dan membayar retribusi masuk Rp. 5.000. Para adbi dalem telah menyiapkan 40 stel baju pranakan dan 30 stel kemben dengan sewa Rp. 10.000 / stel. 




Jumlah pengunjung rata-rata 3.000 orang per bulan dan 75 % diantaranya adalah wisatawan religi yang bertujuan mengunjungi makam. Hal ini diungkapkan Raden Tumenggung Pujo Dipuro/Slamet Taryono (50) abdi dalem kraton Surakarta sebagai juru pemelihara. Menurutnya pengunjung terbesar berasal dari Jawa Timur, Jepara dan Jakarta dan umumnya adalah kelompok masyarakat umum dan pelajar. Akhir2 ini ada kecenderungan kunjungan wisatawan asing meningkat pula. Menurut Budi Raharjo, setiap harinya komplek ini dijaga oleh 6 orang abdi dalem, 3 dari Yogyakarta dan 3 abdi dalem Surakarta. Dengan demikian abdi dalem Yogyakarta bertugas 6 hari sekali, sedangkan abdi dalem Solo 4 hari sekali. 


Untuk meningkatkan kunjungan wisata, sudah 4 tahun berjalan, pada setiap bulan April para abdi dalem ini mengadakan upacara nguras atau nawuh sendang dan nguras jagan masjid. Acara dimulai dengan doa/tahlil pada malam sebelum upacara prosesi, prosesi gunungan yang berisikan makanan kuliner khas Kota Gede dan nguras sendang serta jagan mesjid itu sendiri. Prosesi dimulai dari Balai Kelurahan Jagalan menuju masjid gede Mataram. Setelah acara prosesi dan makan bersama, pengunjung dan para peziarah dihibur dengan berbagai kesenian tradisional. Selain itu, setiap malam Jumat Pon jam 20.00 sampai selesai, diadakan tahlil oleh abdi dalem bersama para peziarah dan masyarakat umum yang berminat. Pendanaan untuk acara ini ditanggung oleh para abdi dalem dan para donatur yang bersimpatik. ( Yan/Fernandez ) 


Sejarah Makam Imogiri

Makam Imogiri merupakan komplek makam bagi raja-raja Mataram dan keluarganya yang berada di Ginirejo Imogiri kabupaten Bantul. Makam ini didirikan antara tahun 1632 - 1640M oleh Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo, Sultan Mataram ke-3, keturunan dari  Panembahan Senopati , Raja Mataram ke-1, dan merupakan bangunan milik keraton kasultanan.


Tata cara memasuki makam di tempat ini adalah pengunjung diharuskan memakai pakaian tradisonil Mataram. Pria harus mengenakan pakaian peranakan berupa beskap berwarna hitam atau biru tua bergaris-garis, tanpa memakai keris, atau hanya memakai kain/jarit tanpa baju. Sedangkan wanita harus mengenakan kemben.Selama berziarah pengunjung tidak diperkenankan memakai perhiasan. Bagi kerabat istana khususnya putra-putri raja ada peraturan tersendiri, pria memakai beskap tanpa keris, puteri dewasa mengenakan kebaya dengan ukel tekuk, sedangkan puteri yang masih kecil memakai sabuk wolo ukel konde
Konstruksi bangunan Makam Imogiri terbuat dari batubata. Bangunan - bangunan yang ada di komplek makam lmogiri adalah :

Makam Imogiri terletak di sebelah selatan Kota Yogyakarta, kurang lebih 45 menit ke arah selatan perjalanan menggunakan kendaraan sendiri, atau bisa juga ditempuh dengan minibus dari Kota Yogyakarta langsung sampai lokasi. Makam ini terletak di atas perbukitan  yang juga masih satu gugusan dengan Pegunungan Seribu. Setelah Mataram terpecah jadi 2 bagian, yaitu Kasunanan di Surakarta dan Kasultanan di Yogyakarta, maka tata letak pemakaman dibagi 2, sebelah timur untuk pemakaman raja-raja dari Kasultanan Yogyakarta dan sebelah barat untuk pemakaman raja-raja dari Kasunanan Surakarta. Raja Mataram yang pertama dimakamkan di Imogiri yaitu Sultan Agung Hanyokrokusumo. Beliau yang memutuskan bahwa Imogiri menjadi makamnya kelak setelah beliau wafat. Hingga saat ini Raja Kasultanan Yogyakarta dan Surakarta yang wafat dimakamkan di sini.



Di salah satu tangga ke makam ada sebuah nisan yang sengaja dijadikan tangga agar selalu diinjak oleh para peziarah yaitu nisan makam Tumenggung Endranata karena dianggap mengkhianati Mataram. Cerita lain menyebutkan bahwa yang dikubur di tangga itu adalah Gubernur Jenderal Belanda, JP Coen.

Selain menjadi tempat wisata sejarah, Makam Imogiri juga menjadi tempat wisata religius, yaitu sebagai tempat ziarah. Pada bulan Suro menurut kalender jawa, di makam ini dilaksanakan upacara pembersihan "nguras" Padasan Kong Enceh.
Masjid 
Gapura 
Kelir, yaitu sebuah bangunan pagar tembok yang berfungsi sebagai aling-aling pintu gerbang.
Padasan. Padasan merupakan tempat berwudlu / bersuci dan biasanya disebut enceh atau Kong. Enceh-enceh ini diisi setahun sekali pada hari Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon yang pertama di bulan Suro dengan upacara tradisi khusus.
Nisan, nisan untuk wanita biasanya bagian atasnya tumpul atau membulat , nisan untuk pria bagian atasnya runcing. Nisan-nisan di komplek makam ini di bagi dalam 8 (delapan) kelompok makam.
Kolam, terletak di halaman depan masjid.

Sumber : http://febrifitriyanto1.blogspot.com/2013/02/makam-imogiri-makam-raja-raja-mataram.html

Sejarah Keraton Jogja


Pada tahun 1755 M Sultan Hamengkubuwono I membangun keraton. Tepat di depan keraton tersebut terdapat 2 pohon beringin besar yang dimitoskan pohon beringin laki-laki dan perempuan. Menurut catatan sejarah, pohon beringin sebelah barat berasal dari kerajaan Majapahit dan yang timur dari kerajaan Padjajaran. Di sekeliling alun-alun depan keraton juga terdapat 62 buah pohon beringin. Menurut mistosnya yang dituliskan dalam sejarah jika dijumlahkan 62 beringin pada sekeliling alun-alun ditambah 2 pohon beringin di tengah alun-alun menjadi 64 buah pohon beringin. Dengan itu pula dimaknai sepanjang usia Nabi Muhammad SAW adalah 64 tahun.



Kemudian pada tahun 1758 Sri Sultan hamengkubuwono I membangun sebuah pusat perdagangan untuk menunjang kelangsungan ekonomi masyarakat yogyakarta. Pembangunan pusat ekonomi ini di lakukan pada sebuah lahan di utara keraton yang pada waktu itu masih di tumbuhi pohon beringin. Sri Sultan Hamengkubuwono I akhirnya membabat pohon beringin tersebut dengan harapan lahan yang ditumbuhi beringin itu dapat mendatangkan kesejahteraan. Dan berdirilah sebuah pusat ekonomi pada waktu itu dengan bentuk pasar tradisional. Hingga akhirnya pasar tersebut dinamakan “Beringharjo” asal kata dari “Beringin (pohon beringin)” dan “Harjo (Bahasa jawa (Kesejahteraan)). Jadi bila digabungkan dapat dimaknai sebagai pohon beringin yang awalnya ditumbangkan dan diharapkan dapat mendatangkan kesejahteraan rakyat dari sektor perdagangan. Hingga sampai saat ini pasar itu masih eksis dan menjadi salah satu obyek wisata perbelanjaan di yogyakarta



Tidak ada komentar: