Sejarah Candi Prambanan
Candi Prambanan adalah bangunan luar biasa
cantik yang dibangun di abad ke-10 pada masa pemerintahan dua raja, Rakai
Pikatan dan Rakai Balitung. Menjulang setinggi 47 meter (5 meter lebih tinggi
dari Candi Borobudur), berdirinya
candi ini telah memenuhi keinginan pembuatnya, menunjukkan kejayaan Hindu di
tanah Jawa. Candi ini terletak 17 kilometer dari pusat kota Yogyakarta, di
tengah area yang kini dibangun taman indah.
Ada sebuah legenda yang selalu diceritakan
masyarakat Jawa tentang candi ini. Alkisah, lelaki bernama Bandung Bondowoso
mencintai Roro Jonggrang. Karena tak mencintai, Jonggrang meminta Bondowoso
membuat candi dengan 1000 arca dalam semalam. Permintaan itu hampir terpenuhi
sebelum Jonggrang meminta warga desa menumbuk padi dan membuat api besar agar
terbentuk suasana seperti pagi hari. Bondowoso yang baru dapat membuat 999 arca
kemudian mengutuk Jonggrang menjadi arca yang ke-1000 karena merasa dicurangi.
Candi Prambanan memiliki 3 candi utama di
halaman utama, yaitu Candi Wisnu, Brahma, dan Siwa. Ketiga candi tersebut
adalah lambang Trimurti dalam kepercayaan Hindu. Ketiga candi itu menghadap ke
timur. Setiap candi utama memiliki satu candi pendamping yang menghadap ke
barat, yaitu Nandini untuk Siwa, Angsa untuk Brahma, dan Garuda untuk Wisnu.
Selain itu, masih terdapat 2 candi apit, 4 candi kelir, dan 4 candi sudut.
Sementara, halaman kedua memiliki 224 candi.
Memasuki candi Siwa yang terletak di
tengah dan bangunannya paling tinggi, anda akan menemui 4 buah ruangan. Satu
ruangan utama berisi arca Siwa, sementara 3 ruangan yang lain masing-masing
berisi arca Durga (istri Siwa), Agastya (guru Siwa), dan Ganesha (putra Siwa).
Arca Durga itulah yang disebut-sebut sebagai arca Roro Jonggrang dalam legenda
yang diceritakan di atas.
Di Candi Wisnu yang terletak di sebelah
utara candi Siwa, anda hanya akan menjumpai satu ruangan yang berisi arca
Wisnu. Demikian juga Candi Brahma yang terletak di sebelah selatan Candi Siwa,
anda juga hanya akan menemukan satu ruangan berisi arca Brahma.
Candi pendamping yang cukup memikat adalah
Candi Garuda yang terletak di dekat Candi Wisnu. Candi ini menyimpan kisah
tentang sosok manusia setengah burung yang bernama Garuda. Garuda merupakan
burung mistik dalam mitologi Hindu yang bertubuh emas, berwajah putih, bersayap
merah, berparuh dan bersayap mirip elang. Diperkirakan, sosok itu adalah
adaptasi Hindu atas sosok Bennu(berarti 'terbit' atau 'bersinar', biasa
diasosiasikan dengan Dewa Re) dalam mitologi Mesir Kuno atauPhoenix dalam
mitologi Yunani Kuno. Garuda bisa menyelamatkan ibunya dari kutukan Aruna
(kakak Garuda yang terlahir cacat) dengan mencuri Tirta Amerta (air suci para
dewa).
Kemampuan menyelamatkan itu yang dikagumi
oleh banyak orang sampai sekarang dan digunakan untuk berbagai kepentingan.
Indonesia menggunakannya untuk lambang negara. Konon, pencipta lambang Garuda
Pancasila mencari inspirasi di candi ini. Negara lain yang juga menggunakannya
untuk lambang negara adalah Thailand, dengan alasan sama tapi adaptasi bentuk
dan kenampakan yang berbeda. Di Thailand, Garuda dikenal dengan istilah Krut atau Pha
Krut.
Prambanan juga memiliki relief candi yang
memuat kisah Ramayana. Menurut para ahli, relief itu mirip dengan cerita
Ramayana yang diturunkan lewat tradisi lisan. Relief lain yang menarik adalah
pohon Kalpataru yang dalam agama Hindu dianggap sebagai pohon kehidupan,
kelestarian dan keserasian lingkungan. Di Prambanan, relief pohon Kalpataru
digambarkan tengah mengapit singa. Keberadaan pohon ini membuat para ahli
menganggap bahwa masyarakat abad ke-9 memiliki kearifan dalam mengelola
lingkungannya. Sama seperti sosok Garuda, Kalpataru kini juga digunakan
untuk berbagai kepentingan. Di Indonesia, Kalpataru menjadi lambang Wahana
Lingkungan Hidup (Walhi). Bahkan, beberapa ilmuwan di Bali mengembangkan konsep Tri
Hita Karana untuk pelestarian lingkungan dengan melihat relief Kalpataru
di candi ini. Pohon kehidupan itu juga dapat ditemukan pada gunungan yang
digunakan untuk membuka kesenian wayang. Sebuah bukti bahwa relief yang ada di
Prambanan telah mendunia.
Kalau cermat, anda juga bisa melihat
berbagai relief burung, kali ini burung yang nyata. Relief-relief burung di
Candi Prambanan begitu natural sehingga para biolog bahkan dapat
mengidentifikasinya sampai tingkat genus. Salah satunya relief Kakatua
Jambul Kuning (Cacatua sulphurea) yang mengundang pertanyaan. Sebabnya, burung
itu sebenarnya hanya terdapat di Pulau Masakambing, sebuah pulau di tengah Laut
Jawa. Lalu, apakah jenis itu dulu pernah banyak terdapat di Yogyakarta?
Jawabannya silakan cari tahu sendiri. Sebab, hingga kini belum ada satu orang
pun yang bisa memecahkan misteri itu.
Nah, masih banyak lagi yang bisa digali di
Prambanan. Anda tak boleh jemu tentunya. Kalau pun akhirnya lelah, anda bisa
beristirahat di taman sekitar candi.
Naskah: Yunanto Wiji Utomo
Sejarah Candi Barong
Sebagai orang Indonesia,
seharusnya kita tidak perlu bingung jika ingin berwisata karena kekayaan dan
keanekaragaman obyek wisata yang kita punya. Keindahan alam yang kita punya
merupakan obyek wisata yang banyak diminati dan mashur seantero jagad. Akan tetapi,
wisata purbakala kita nampaknya belum menjadi primadona bahkan bagi rakyat
Indonesia sendiri. Warisan bangunan nenek moyang kita zaman dahulu nampaknya
belum menarik hati banyak orang Indonesia untuk mengunjunginya.
Jika menyebut kata
candi, ingatan kita hanya akan terbatas pada Candi Prambanan dan Candi
Borobudur. Padahal di Jawa Tengah dan Yogyakarta saja, terdapat
sekurang-kurangnya 11 candi. Salah satu yang unik adalah Candi Barong. Candi
yang terletak di Dusun Candisari, Kelurahan Bokoharjo, Prambanan, Sleman,
Yogyakarta ini merupakan candi peninggalan agama Hindu. Yang unik dari Candi
Barong adalah terdapat hiasan kala relung tubuh candi sehingga menyerupai
Barong. Itulah alasan mengapa candi ini dinamakan Candi Barong. Selain itu,
yang membuat Candi Barong berbeda dengan candi-candi lain di Jawa Tengah dan
Yogyakarta adalah bangunannya. Bangunan Candi Barong merupakan punden berundak,
bangunan suci khas masa pra-Hindu.
Dengan keunikan tersebut
sudah seharusnya kita patut bersyukur, karena nenek moyang kita telah
mewariskan bangunan yang sangat indah serta memuat nilai filosofis yang sangat
tinggi pada bangunan candi Barong. Tugas kita adalah menjaga, melestarikan,
serta memperkenalkannya kepada dunia. Jangan sampai kita menelantarkan apalagi
sampai merusak warisan nenek moyang kita.
Bagi yang belum pernah
mengunjungi Candi Barong, maka berkunjung dan berwisata ke candi tersebut
merupakan salah satu cara untuk melestarikan warisan nenek moyang kita itu.
Letaknya yang berdekatan dnegan obyek wisata kompleks Ratu Boko membuat akses
ke Candi Barong relatif murah dan mudah, karena kompleks Ratu Boko
merupakan tujuan wisata yang cukup terkenal di Jogjakarta.
Bagi yang sudah pernah
mengunjungi Candi Barong, mengajak teman untuk mengunjungi Candi Barong merupakan
cara yang tepat untuk ikut melestarikan Candi Barong. Selain itu membagi
pengalaman serta cerita, baik melalui tulisan maupun rekaman video, ketika
berwisata ke Candi Barong merupakan cara yang jitu untuk ikut memperkenalkan
kepada dunia. Sehingga, akan lebih banyak lagi orang yang berminat untuk
mengunjungi Candi Barong
SEJARAH SINGKAT TAMAN SARI
kawasan Tamansari dengan kampung
taman-nya ini sangat terkenal dengan kerajinan batiknya. Kita dapat berbelanja
maupun melihat secara langsung pembuatan batik-batik yang berupa lukisan maupun
konveksi. Kampung Tamansari ini sangat dikenal sehingga banyak mendapat
kunjungan baik dari wisatawan mancanegara maupun wisata nusantara.
Tamansari dibangun pada masa Sultan
Hamengku Buwono I atau sekitar akhir abad XVII M.
Tamansari adalah sebuah tempat yang
cukup menarik untuk dikunjungi. Selain letaknya yang tidak terlalu jauh dari
Kraton Yogyakarta yang merupakan obyek wisata utama kota ini, Tamansari
memiliki beberapa keistimewaan. Keistimewaan Tamansari antara lain terletak
pada bangunannya sendiri yang relatif utuh dan terawat serta lingkungannya yang
sangat mendukung keberadaannya sebagai obyek wisata.
Tak terhitung seberapa banyak
bangunan peninggalan bersejarah di Indonesia. Salah satunya Tamansari yang
termasuk bagian dari warisan budaya Keraton Kasultanan Yogyakarta. Letaknya tak
jauh dari Keraton Yogyakarta, sekitar 300 m di sebelah barat Keraton, tepatnya
di Kampung Taman, Kecamatan Kota Yogyakarta.
Tamansari dibangun pada pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono I di tahun 1758.
Tujuan pembangunannya adalah sebagai tempat untuk menentramkan hati,
beristirahat, berekreasi, serta sebagai sarana/benteng untuk menghadapi situasi
bahaya. Bangunannnya dilengkapi pula dengan tempat beribadah.
Naman Tamansari memiliki dua suku kata, yaitu taman yang berarti kebun yang
ditanami bunga-bunga, dan sari yang berarti indah. Apabila digabungkan menjadi
sebuah nama kompleks taman dengan keindahan dan suasananya yang asri.
Pemandangannya juga mengarah ke rumah-rumah penduduk sekitar yang dulunya
dijadikan kebun buah
Terletak di Kampung Taman, 500 m
sebelah selatan kompleks Keraton Yogyakarta, pada 1578 pesanggrahan ini
dibangun sebagai tempat bercengkerama dan menenangkan diri Sultan sekeluarga.
Bukan hanya sebagai tetirahan, Tamansari juga dilengkapi lorong rahasia untuk
berlindung dan menyelamatkan diri. Kompleks ini mulanya memiliki 57 bangunan,
seperti kebun, gapura, danau buatan, kolam pemandian, kanal air, juga masjid
dan lorong bawah tanah.
Namun beberapa bagian itu kini sudah tak utuh lagi. Umumnya karena tergerus
usia dan cuaca, namun tak jarang situs-situs tersebut rusak parah oleh bencana
alam. Gempa hebat di Yogyakarta, 10 Juni 1867, menghancurkan sebagin besar
bangunannya, termasuk terowongan yang konon tembus ke Keraton dan Pantai
Selatan. Selepas Sultan Hamengkubuwono III bertahta, Tamansari pun tidak
digunakan lagi. Lambat laun, masyarakat biasa mendirikan rumah-rumah di
sekitarnya
dan membentuk perkampungan, yaitu Kampung Taman yang terkenal dengan kerajinan
batiknya.
Upaya untuk mengembalikan pesona bangunan dengan perpaduan gaya Portugal, Jawa,
Islam, dan Cina itu pun ditempuh. Pemda DIY memugar kompleks ini pada 1977.
Pemeliharaan rutin dilakukan oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala
(SPSP) dengan dukungan APBN. Pada 2001, pemugaran gerbang dan urung-urung-nya
menelan 120 juta rupiah dana APBD. Atas prakarsa Jogja Heritage Society, pada 2003
sebuah yayasan pelestarian seni-budaya Portugal, Calooste Golbenkian,
bekerjasama dengan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) dan Pusat
Studi Lingkungan Hidup UGM juga merehabilitasi Tamansari.
Berbagai langkah perbaikan itu, tentunya agar kondisi Tamansari tak semakin
mengkhawatirkan. Seperti dicatat World Monument Fund, sebuah badan dunia yang
peduli pada nasib situs-situs sejagat, Tamansari masuk dalam daftar 100 Most
Endangered Sites, 100 situs paling terancam keberadaannya. Apalagi seusai lindu
dahsyat 27 Mei 2006 silam, kondisi Tamansari kian memprihatinkan. Gempa bumi
itu telah meretakkan tembok-temboknya. Banyak bagian Pulau Cemeti juga roboh.
Puing-puingnya bahkan menewaskan sejumlah warga setempat.
Sampai kini, restorasi Tamansari masih berlangsung secara bertahap. Awal Maret
2007 lalu, upaya rehabilitasi Tamansari pasca-gempa kembali dibahas dengan
melibatkan BP3 dan Unesco. Pemugaran dilakukan secara hati-hati dengan
memperhatikan bahan, teknik, dan detail bangunan. Berbeda dengan bangunan
biasa, Tamansari termasuk situs yang kaya catatan budaya dan sejarah. Tak
semestinya upaya mengembalikan Tamansari sebagai—sesuai arti namanya—“taman
yang indah” hanya dengan memasang material baru sehingga menghilangkan aura
kelampauannya.
Sejarah Makam Raja-Raja Mataram
Makam raja-raja di Kota Gede dikenal
dengan nama Kagungandalem Pasareyan Hastana Kitha Hageng. Tempat ini dibangun
oleh Ki Ageng Pamanahan tahun 1579 sebagai tempat kediamannya di alas menthaok.
Sultan Hadiwijoyo memberikan tanah ini kepada Ki Ageng Pamanahan dan
berkedudukan sebagai tanah perdikan, setelah ia berhasil membunuh Ario
Panangsang yang menjadi musuh kerajaan Pajang. Setelah Ki Ageng Pamanahan wafat
1586, Panembahan Senopati (putra Ki Ageng) menyatakan berdirinya kerajaan
Mataram Islam dengan kraton Mataram pertama di dusun Dalem. Menurut Mas Bekel
Hastono Raharjo (55) ketika ditemui di komplek makam Kamis (11/10), tempat ini
kemudian dijadikan makam keluarga raja oleh Panembahan Senopati.
Pasereyan Hastana Kitha Hageng seluas 5,5 ha ini
terdiri dari : Komplek abdi dalem dimana terdapat 1 pohon beringin tua.
Sebagian komplek ini dijadikan areal parkir bagi pengunjung yang datang.
Komplek Masjid Gede Mataram yang juga merupakan masjid tertua kedua setelah
masjid Demak. Masjid ini dibangun oleh Panembahan Senopati, serambi masjid
dibangun oleh Sultan Agung Hanyakrokusumo dan emperan serta kuncung dibangun
oleh Susuhunan Paku Buwono X. Komplek Pasangrahan dan komplek sendang kakung
maupun putri dengan luas masing-masing 1 ha dan terakhir adalah komplek makam
hastana kitha hageng seluas 1,5 ha. Di sini terdapat 627 makam termasuk 81
dalam blok Proboyekso.
Beberapa leluhur Mataram yang sangat dikenal
yang dimakamkan di sini : Nyi Hageng Nis, Penembahan Jayaprana, Ki Datuk
Palembang (Sultan Pajang), Ki Ageng Pamanahan, Ki Jurumertani, Panembahan
Senopati, Kanjeng Sinuhun Hanyakrawati, Kanjeng Ratu Retno Dumilah, Kanjeng
Ratu Kalinyamat, Kanjeng Ratu Retno Tinumpuk, Kanjeng Ratu Kencana, Sultan
Hamengku Buwono I dan II, KGPAA I-IV dan Ki Ageng Mangir serta masih banyak
lagi. Setiap pengunjung yang datang, bisa memperoleh daftar lengkap nama mereka
yang dimakamkan di sini, sejarah singkat makam Kutho Gede dan silsilah
raja-raja Mataram Islam. Sudah lama komplek makam ini tertutup untuk makam
baru.
Bangunan yang ada dalam komplek makam ini
berjumlah 15 buah terdiri dari : bangsal kencur, bangsal pengapit makam, bangsal
duduk, bangsal pengapit masjid, masjid gede Mataram, bangsal sentulan kiri
kanan, bangsal penjaga dan gudang, bangunan sendang kakung, putri, serta
bangunan makam proboyekso dan bangunan makam KGPAA II-IV. Untuk merawat seluruh
bangunan termasuk kebersihan dalam komplek, menjadi tanggung jawab para abdi
dalem juru kunci pasareyan kutho gede. Karena termasuk benda cagar budaya, maka
biaya renovasi dan konbloknisasi menjadi tanggung jawab Pemda DIY melalui dinas
Pariwisata. Namun biaya listrik menjadi tanggungan kraton Yogya maupun
Solo
Komplek makam Kutho Gede dikelola oleh 54 orang
addi dalem, 34 abdi dalem Kraton Yogyakarta dan 20 orang adbi dalem Kraton
Surakarta. Menurut Mas Bekel Hastono Raharjo/Budi Raharjo, komplek ini terbuka
untuk pengunjung selama 24 jam setiap harinya, kecuali ke makam hanya dibuka
untuk hari Minggu, Senin dan Kamis jam 10.00 – 14.00 dan hari Jumat jam 13.00 –
17.00. Mereka yang ingin berkunjung ke makam harus mematuhi syarat-syarat :
harus memakai busana adat atau pranakan bagi laki-laki dan kemben bagi
perempuan, tidak boleh berjilbab, tidak memakai alas kaki, tidak boleh
mengembail gambar di dalam komplek makam dan membayar retribusi masuk Rp.
5.000. Para adbi dalem telah menyiapkan 40 stel baju pranakan dan 30 stel kemben
dengan sewa Rp. 10.000 / stel.
Jumlah pengunjung rata-rata 3.000 orang per bulan dan 75 % diantaranya adalah wisatawan religi yang bertujuan mengunjungi makam. Hal ini diungkapkan Raden Tumenggung Pujo Dipuro/Slamet Taryono (50) abdi dalem kraton Surakarta sebagai juru pemelihara. Menurutnya pengunjung terbesar berasal dari Jawa Timur, Jepara dan Jakarta dan umumnya adalah kelompok masyarakat umum dan pelajar. Akhir2 ini ada kecenderungan kunjungan wisatawan asing meningkat pula. Menurut Budi Raharjo, setiap harinya komplek ini dijaga oleh 6 orang abdi dalem, 3 dari Yogyakarta dan 3 abdi dalem Surakarta. Dengan demikian abdi dalem Yogyakarta bertugas 6 hari sekali, sedangkan abdi dalem Solo 4 hari sekali.
Untuk meningkatkan kunjungan wisata, sudah 4 tahun
berjalan, pada setiap bulan April para abdi dalem ini mengadakan upacara nguras
atau nawuh sendang dan nguras jagan masjid. Acara dimulai dengan doa/tahlil
pada malam sebelum upacara prosesi, prosesi gunungan yang berisikan makanan
kuliner khas Kota Gede dan nguras sendang serta jagan mesjid itu sendiri.
Prosesi dimulai dari Balai Kelurahan Jagalan menuju masjid gede Mataram.
Setelah acara prosesi dan makan bersama, pengunjung dan para peziarah dihibur
dengan berbagai kesenian tradisional. Selain itu, setiap malam Jumat Pon jam
20.00 sampai selesai, diadakan tahlil oleh abdi dalem bersama para peziarah dan
masyarakat umum yang berminat. Pendanaan untuk acara ini ditanggung oleh para
abdi dalem dan para donatur yang bersimpatik. ( Yan/Fernandez )
Sejarah Makam Imogiri
Makam Imogiri merupakan komplek makam bagi raja-raja Mataram dan
keluarganya yang berada di Ginirejo Imogiri kabupaten Bantul. Makam ini
didirikan antara tahun 1632 - 1640M oleh Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo,
Sultan Mataram ke-3, keturunan dari Panembahan Senopati , Raja Mataram
ke-1, dan merupakan bangunan milik keraton kasultanan.
Tata cara
memasuki makam di tempat ini adalah pengunjung diharuskan memakai pakaian
tradisonil Mataram. Pria harus mengenakan pakaian peranakan berupa beskap
berwarna hitam atau biru tua bergaris-garis, tanpa memakai keris, atau hanya
memakai kain/jarit tanpa baju. Sedangkan wanita harus mengenakan kemben.Selama
berziarah pengunjung tidak diperkenankan memakai perhiasan. Bagi kerabat istana
khususnya putra-putri raja ada peraturan tersendiri, pria memakai beskap tanpa
keris, puteri dewasa mengenakan kebaya dengan ukel tekuk, sedangkan puteri yang
masih kecil memakai sabuk wolo ukel konde
Konstruksi bangunan Makam Imogiri terbuat dari batubata. Bangunan - bangunan
yang ada di komplek makam lmogiri adalah :
Makam Imogiri terletak di sebelah selatan Kota Yogyakarta, kurang lebih 45
menit ke arah selatan perjalanan menggunakan kendaraan sendiri, atau bisa juga
ditempuh dengan minibus dari Kota Yogyakarta langsung sampai lokasi. Makam ini
terletak di atas perbukitan yang juga masih satu gugusan dengan
Pegunungan Seribu. Setelah Mataram terpecah jadi 2 bagian, yaitu Kasunanan di
Surakarta dan Kasultanan di Yogyakarta, maka tata letak pemakaman dibagi 2,
sebelah timur untuk pemakaman raja-raja dari Kasultanan Yogyakarta dan sebelah
barat untuk pemakaman raja-raja dari Kasunanan Surakarta. Raja Mataram yang
pertama dimakamkan di Imogiri yaitu Sultan Agung Hanyokrokusumo. Beliau yang
memutuskan bahwa Imogiri menjadi makamnya kelak setelah beliau wafat. Hingga
saat ini Raja Kasultanan Yogyakarta dan Surakarta yang wafat dimakamkan di
sini.
Di salah satu tangga ke makam ada sebuah nisan yang sengaja dijadikan
tangga agar selalu diinjak oleh para peziarah yaitu nisan makam Tumenggung
Endranata karena dianggap mengkhianati Mataram. Cerita lain menyebutkan bahwa
yang dikubur di tangga itu adalah Gubernur Jenderal Belanda, JP Coen.
Selain menjadi tempat wisata sejarah, Makam Imogiri juga menjadi tempat
wisata religius, yaitu sebagai tempat ziarah. Pada bulan Suro menurut kalender
jawa, di makam ini dilaksanakan upacara pembersihan "nguras" Padasan
Kong Enceh.
Masjid
Gapura
Kelir, yaitu sebuah bangunan pagar tembok yang berfungsi sebagai
aling-aling pintu gerbang.
Padasan. Padasan merupakan tempat berwudlu / bersuci dan biasanya disebut
enceh atau Kong. Enceh-enceh ini diisi setahun sekali pada hari Selasa Kliwon
dan Jumat Kliwon yang pertama di bulan Suro dengan upacara tradisi khusus.
Nisan, nisan untuk wanita biasanya bagian atasnya tumpul atau membulat ,
nisan untuk pria bagian atasnya runcing. Nisan-nisan di komplek makam ini di
bagi dalam 8 (delapan) kelompok makam.
Kolam, terletak di halaman depan masjid.
Sumber :
http://febrifitriyanto1.blogspot.com/2013/02/makam-imogiri-makam-raja-raja-mataram.html
Sejarah Keraton Jogja
Pada tahun 1755 M Sultan Hamengkubuwono I membangun keraton. Tepat di depan
keraton tersebut terdapat 2 pohon beringin besar yang dimitoskan pohon beringin
laki-laki dan perempuan. Menurut catatan sejarah, pohon beringin sebelah barat
berasal dari kerajaan Majapahit dan yang timur dari kerajaan Padjajaran. Di
sekeliling alun-alun depan keraton juga terdapat 62 buah pohon beringin. Menurut
mistosnya yang dituliskan dalam sejarah jika dijumlahkan 62 beringin pada
sekeliling alun-alun ditambah 2 pohon beringin di tengah alun-alun menjadi 64
buah pohon beringin. Dengan itu pula dimaknai sepanjang usia Nabi Muhammad SAW
adalah 64 tahun.
Kemudian pada tahun 1758
Sri Sultan hamengkubuwono I membangun sebuah pusat perdagangan untuk menunjang
kelangsungan ekonomi masyarakat yogyakarta. Pembangunan pusat ekonomi ini di
lakukan pada sebuah lahan di utara keraton yang pada waktu itu masih di tumbuhi
pohon beringin. Sri Sultan Hamengkubuwono I akhirnya membabat pohon beringin
tersebut dengan harapan lahan yang ditumbuhi beringin itu dapat mendatangkan
kesejahteraan. Dan berdirilah sebuah pusat ekonomi pada waktu itu dengan bentuk
pasar tradisional. Hingga akhirnya pasar tersebut dinamakan “Beringharjo” asal
kata dari “Beringin (pohon beringin)” dan “Harjo (Bahasa jawa (Kesejahteraan)).
Jadi bila digabungkan dapat dimaknai sebagai pohon beringin yang awalnya
ditumbangkan dan diharapkan dapat mendatangkan kesejahteraan rakyat dari sektor
perdagangan. Hingga sampai saat ini pasar itu masih eksis dan menjadi salah
satu obyek wisata perbelanjaan di yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar